Langsung ke konten utama

Di Dunia Kaya Raya, Mati Masuk Surga

Allah itu tidak perlu dibesar-besarkan sudah Maha Lebih Besar. Juga tidak perlu didramatisasi, karena memang sudah seperti itu. Dia juga tidak laba ataupun rugi atas apa saja yang dilakukan oleh manusia.

Kalaupun manusia memuji seharusnya dengan kesadaran bahwa ia benar-benar takjub yang proses awalnya melalui penghayatan. Bukan sekedar kata-kata yang keluar dari mulut. Apalagi tujuannya adalah eksploitasi, manipulasi kata-kata hanya untuk  sekedar melakukan pencitraan, mobilisasi masa untuk kepentingan golongan atau apalah yang orientasinya bersifat duniawi. 

Kalau kita melihat keadaan sekarang-sekarang ini kita menemui bahwa Allah beserta firman-firman-Nya hanya diposisikan manusia sebagai puncak keserakahannya. Berbondong-bondong manusia menahan untuk tidak melakukan ini, itu di dunia karena ia mengharapkannya untuk bisa melakukannya di surga kelak dengan proporsi tak terhingga. Imajinasi akan surga hanyalah sebatas imajinasi keduniaan yang dihilangkan batas-batasnya. Diam-diam surga diharapkan menjadi tempat melampiaskan sifat maniak yang belum terlaksana di dunia.

Maka, sebenarnya diam-diam manusia menganggap Tuhan itu tidak penting. Pertemuan dengan-Nya tidak terlalu penting. Yang penting adalah syahwat-syahwatnya. Manusia mempertahankan kepadatan-kepadatan hatinya. Ia tidak mau lebur, menyatu dengan Kesejatian. Tetapi, anehnya dia mengharapkan kesejatian. Ketika waktunya tiba tetapi belum juga lebur manusia tidak mau dipaksa untuk lebur. 

“Apapun saja akan kembali kepada-Ku”, kata-Nya. Mau tidak mau, padat atau cair harus menyatu kembali.

Surga ataupun neraka adalah proses kemenyatuan dengan Sang Sejati. Surga adalah gambaran proses yang mulus karena semenjak di dunia sudah memprioritaskan diri untuk menyatu dengan-Nya. Neraka adalah gambaran proses dengan cara yang lebih susah. Karena masih padat, mau tidak mau harus dicairkan dengan api, sampai ia tiada dan menyatu kembali dengan-Nya. 

Dalam arus materialisme ini sesuatu yang padat dianggap surga, sesuatu yang tidak padat dianggap neraka. Karena dalam kacamata dunia, perilaku melampiaskan, kenikmatan jangka pendek adalah yang dicari-cari. Laku prihatin yang memang cenderung susah dalam kacamata dunia adalah yang dihindari.

Dengan sembrono orang-orang yang disebut sebagai ahli agama memberikan jargon “di dunia kaya raya, mati masuk surga”. Apakah shalawat yang ia lantunkan, ucapkan untuk Rasulullah serius atau tidak, tidak tahu. Beliau, kekasih-Nya memutuskan hidup miskin demi umatnya. Supaya umatnya bersikap wajar terhadap kekayaan. Supaya umatnya tidak terlalu maniak dengan dunia. Supaya umatnya bisa belajar untuk menyatu dengan-Nya. Dengan jargon itu, mereka yang mengaku sebagai umatnya menolak mentah-mentah pembelajaran yang ditawarkan oleh beliau.

Komentar