Allah itu tidak perlu dibesar-besarkan sudah Maha Lebih
Besar. Juga tidak perlu didramatisasi, karena memang sudah seperti itu. Dia
juga tidak laba ataupun rugi atas apa saja yang dilakukan oleh manusia.
Kalau
kita melihat keadaan sekarang-sekarang ini kita menemui bahwa Allah beserta
firman-firman-Nya hanya diposisikan manusia sebagai puncak keserakahannya. Berbondong-bondong
manusia menahan untuk tidak melakukan ini, itu di dunia karena ia
mengharapkannya untuk bisa melakukannya di surga kelak dengan proporsi tak
terhingga. Imajinasi akan surga hanyalah sebatas imajinasi keduniaan yang
dihilangkan batas-batasnya. Diam-diam surga diharapkan menjadi tempat
melampiaskan sifat maniak yang belum terlaksana di dunia.
“Apapun
saja akan kembali kepada-Ku”, kata-Nya. Mau tidak mau, padat atau cair harus
menyatu kembali.
Dalam
arus materialisme ini sesuatu yang padat dianggap surga, sesuatu yang tidak
padat dianggap neraka. Karena dalam kacamata dunia, perilaku melampiaskan,
kenikmatan jangka pendek adalah yang dicari-cari. Laku prihatin yang memang cenderung susah dalam kacamata dunia
adalah yang dihindari.
Kalaupun
manusia memuji seharusnya dengan kesadaran bahwa ia benar-benar takjub yang proses
awalnya melalui penghayatan. Bukan sekedar kata-kata yang keluar dari mulut.
Apalagi tujuannya adalah eksploitasi, manipulasi kata-kata hanya untuk sekedar melakukan pencitraan, mobilisasi masa
untuk kepentingan golongan atau apalah yang orientasinya bersifat duniawi.
Maka,
sebenarnya diam-diam manusia menganggap Tuhan itu tidak penting. Pertemuan
dengan-Nya tidak terlalu penting. Yang penting adalah syahwat-syahwatnya. Manusia
mempertahankan kepadatan-kepadatan hatinya. Ia tidak mau lebur, menyatu dengan
Kesejatian. Tetapi, anehnya dia mengharapkan kesejatian. Ketika waktunya tiba
tetapi belum juga lebur manusia tidak mau dipaksa untuk lebur.
Surga
ataupun neraka adalah proses kemenyatuan dengan Sang Sejati. Surga adalah
gambaran proses yang mulus karena semenjak di dunia sudah memprioritaskan diri
untuk menyatu dengan-Nya. Neraka adalah gambaran proses dengan cara yang lebih
susah. Karena masih padat, mau tidak mau harus dicairkan dengan api, sampai ia
tiada dan menyatu kembali dengan-Nya.
Dengan
sembrono orang-orang yang disebut
sebagai ahli agama memberikan jargon “di dunia kaya raya, mati masuk surga”. Apakah
shalawat yang ia lantunkan, ucapkan untuk Rasulullah serius atau tidak, tidak
tahu. Beliau, kekasih-Nya memutuskan hidup miskin demi umatnya. Supaya umatnya
bersikap wajar terhadap kekayaan. Supaya umatnya tidak terlalu maniak dengan
dunia. Supaya umatnya bisa belajar untuk menyatu dengan-Nya. Dengan jargon itu,
mereka yang mengaku sebagai umatnya menolak mentah-mentah pembelajaran yang
ditawarkan oleh beliau.
Komentar
Posting Komentar