Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Kencing Di Tempat

Selalu saja yang menarik bagi manusia yang hidup di zaman modern ini tidak lain tidak bukan adalah cara menumpuk harta. Saya tidak tahu mau kemana lagi supaya tidak mendengar pembicaraan yang berlebihan tentang ketakjuban-ketakjuban yang luar biasa tentang penumpukan-penumpukan harta. “Dia luar biasa ya, padahal berasal dari keluarga yang kekurangan sekarang bisa jadi kaya”. “Dia luar biasa ya, padahal dulu tidak bisa baca tulis sekarang hidup enak, punya rumah bagus, mobil, pokoknya lengkap”. “Dia hebat ya, padahal ini ..... padahal itu .....   Menurut apa yang saya alami tidak ada obrolan yang lebih menarik dari penumpukan harta. Membicarakan pertanian ujung-ujungnya adalah hasil penjualan hasil pertaniannya. Membicarakan peternakan ujung-ujungnya adalah hasil penjualan hewan ternaknya. Membicarakan pekerjaan ujung-ujungnya adalah nominal gajinya. Rasa-rasanya kok tidak ada yang dianggap penting lagi oleh manusia selain pembicaraan perihal penumpukan harta.   Hal ini secara tidak

Menikmati Kehancuran

Sebegitu yakinnya manusia dengan benda-benda, sehingga ia berjuang mati-matian untuk mencapai pencapaian yang bersifat benda, dapat dirasakan oleh pancaindera atau kalau tidak, secara kuantitatif jelas perhitungannya. Padahal manusia mengerti tentang apa yang dia lihat pun tidak terletak pada bendanya, tetapi di pikirannya. Benda hanya sekedar pintu masuk untuk mengerti.   Pengklasifikasian supaya mempermudah manusia untuk membedakan fungsi juga bagian dari yang tidak kasat mata. Itu ghaib. Apalagi proses yang titik beratnya pada fungsi pun tidak menjamin hasilnya sesuai dengan apa yang diinginkan. Segala yang terlihat kasat mata substansinya terletak pada wilayah ghaib yang sebenarnya tidak bisa dirumuskan oleh manusia.   Entah apa yang membuat manusia mengalami kemunduran-kemunduran. Selain berkaitan dengan keghaiban tersebut, sudah sangat lama manusia mengerti bahwa kehidupan yang ia jalani saat ini bukanlah tujuan. Kehidupan saat ini hanyalah proses menuju kehidupan lain yang m

Menikmati Kepura-puraan

Untuk menjaga keseimbangan sosial manusia dianjurkan untuk saling berprasangka baik satu sama lain. Apabila dilihat dari berbagai peristiwa kehidupan yang ada hal tersebut adalah cara yang efektif mengingat bahwa konflik datangnya dari rasa benci. Rasa benci salah satu penyebabnya adalah prasangka buruk. Namun, di sisi lain kritis terhadap hal-hal yang buruk juga berfungsi sebagai pembelajaran. Bukan untuk berprasangka dan menanam kebencian. Tetapi sebagai proses dialektis saja, supaya pandangan hidup semakin luas. Sehingga tidak membuat manusia terjebak kepada keadaan hitam – putih saja. Hal tersebutlah salah satu hal yang melandasi adanya tulisan ini. Saya akan membicarakan tentang suatu keadaan di masyarakat. Tetapi, untuk mempertegas saja, sama sekali bukan bertujuan untuk menanam kebencian terhadap apapun. Sekedar dialektika untuk menemukan ilmu, hikmah yang disebar langsung oleh-Nya dalam berbagai wilayah kehidupan. Desa, di satu sisi adalah gambaran tentang kokohnya s

Kiamat Kemanusiaan

Salah satu keniscayaan yang dibuat oleh Tuhan adalah presisi. Apa saja yang ia buat pasti memiliki titik akurasi presisi yang benar-benar tepat. Bentuk manusia, bentuk pohon, garis edar bulan, garis edar planet-planet, detak jantung, aliran darah. Semua hal tersebut jika sesekali saja tidak presisi akan berjalan tidak semestinya. Maka, presisi adalah suatu keniscayaan hidup. Jika manusia hidupnya mau beres apapun saja yang dilakukannya harus presisi.  Presisi ini berbeda dengan akal. Kalau akal lebih kepada alat untuk memahami, mencipta, menginovasi berbagai hal. Kalau presisi bukanlah sesuatu hal yang bisa dimiliki dengan cara dilatih. Ibaratnya akal ini rahman, semua manusia pasti mendapatkan anugerah-Nya. Kalau presisi itu rahim, anugerah khusus yang diberikan Tuhan kepada manusia-manusia tertentu. Artinya, untuk bisa mendapatkan anugerah presisi kita harus mendekat kepada Tuhan. Kalau memang kita dikehendaki mendapatkan anugerah presisi tersebut maka Tuhan akan memberikann

Menunggu Kesudahan

Kalau segelintir orang menyengaja berbuat sesuatu tanpa mempertimbangkan apakah dampak negatifnya berpengaruh bagi banyak orang atau tidak berarti hatinya telah membatu dengan sangat keras. Yang ia pedulikan adalah dirinya sendiri. Kemudian, apabila perbuatannya telah terbukti merugikan banyak orang yang skalanya luar biasa besar tetapi ia tidak merasa bersalah berarti batu hatinya semakin keras. Yang penting “aku” untung, tidak peduli orang lain mau mati, mau menderita, mau sengsara.  Saya tidak tahu, apakah ini yang sedang terjadi di dunia ini. Baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kalau iya, inilah puncak dari kesombongan manusia sekaligus puncak kepengecutan manusia. Puncak kesombongan karena manusia semakin tidak sadar bahwa sombong itu tidak benar, tidak baik, tidak indah. Sehingga ia terus memperbaharui tata cara untuk mengimplementasikan kesombongannya supaya semakin canggih, semakin canggih dan semakin canggih. Semakin halus, semakin halus dan semakin h

Di Dunia Kaya Raya, Mati Masuk Surga

Allah itu tidak perlu dibesar-besarkan sudah Maha Lebih Besar. Juga tidak perlu didramatisasi, karena memang sudah seperti itu. Dia juga tidak laba ataupun rugi atas apa saja yang dilakukan oleh manusia. Kalaupun manusia memuji seharusnya dengan kesadaran bahwa ia benar-benar takjub yang proses awalnya melalui penghayatan. Bukan sekedar kata-kata yang keluar dari mulut. Apalagi tujuannya adalah eksploitasi, manipulasi kata-kata hanya untuk   sekedar melakukan pencitraan, mobilisasi masa untuk kepentingan golongan atau apalah yang orientasinya bersifat duniawi.  Kalau kita melihat keadaan sekarang-sekarang ini kita menemui bahwa Allah beserta firman-firman-Nya hanya diposisikan manusia sebagai puncak keserakahannya. Berbondong-bondong manusia menahan untuk tidak melakukan ini, itu di dunia karena ia mengharapkannya untuk bisa melakukannya di surga kelak dengan proporsi tak terhingga. Imajinasi akan surga hanyalah sebatas imajinasi keduniaan yang dihilangkan batas-batasnya. Diam-di

Sinau Pasrah (Perenungan Idul Fitri 6)

Pasrah adalah sesuatu yang secara sekilas terlihat sepele. Dianggapnya pasrah itu sama dengan tidak melakukan apa-apa. Sama dengan putus asa. Pasarah sangat berbeda sekali dengan itu semua. Pasrah merupakan kunci utama perhubungan antara manusia dengan Allah. Pasrah kepada Allah adalah menyerah total kepada Allah. Mengikuti apapun saja yang menjadi kehendaknya atas diciptakannya diri kita. Untuk mengetahui apa yang menjadi maunya Allah atas diciptakannya diri kita adalah mendekat kepada-Nya. Allah itu sudah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada manusia. Juga kepercayaan yang penuh kepada manusia, sehingga manusia diberi akal. Tidak ada makhluk lain yang diberi anugerah berupa akal selain manusia. Dalam perhubungannya dengan Allah manusialah yang bermasalah. Permasalahan yang terkesan sombong tetapi agak menggelikan. Seringkali manusia yang tidak percaya kepada Allah. Sombong, karena makhluk yang tidak ada sebesar proton apabila dibandingkan dengan Allah ini kok bisa-bisanya m

Mugo-mugo Iso Dadi Uwong Le ..... (Semoga Bisa Menjadi Orang Nak .....) (Perenungan Idul Fitri 5)

Bagi manusia yang berusaha menjadi manusia kelihatannya berbagai pola, cara, suasana dan nuansa kehidupan yang disepakati oleh mayoritas manusia saat ini semakin bikin tidak betah. Apalagi bagi yang berusaha menjadi hamba Allah. Apalagi bagi yang berusaha menjadi wakil Allah di bumi sebagai pengelola kehidupan. Sangat-sangat sulit, seakan – akan mendaki tangga sangat panjang yang tak kunjung pernah tahun ujungnya dimana. Sejenak ambillah jarak dengan kehidupanmu. Tanggalkan identitas yang menempel dalam dirimu. Tanggalkan berbagai reputasi yang disematkan masyarakat dalam dirimu. Jadilah manusia, kemudian lihat di sekelilingmu. Lihatlah berita di televis, di internet. Engkau akan menemui bahwa manusia semakin tidak menjadi manusia. Mereka adalah keinginan-keinginan, syahwat-syahwat, nafsu-nafsu yang mereka tempelkan pada dirinya. Celakanya adalah apa yang mereka yakini harus juga diyakini orang lain. Sehingga, orang tua-tua (bukan sepuh, karena sepuh tidak sama dengan tua secara

Benturan Kebenaran (Perenungan Idul Fitri 4)

Jika lingkungan sekitarmu terkena efek dari merebaknya materialisme, kapitalisme, industrialisme kemudian keluarga, tetangga, sanak saudara setiap hari membicarakan penumpukan-penumpukan uang, kepemilikan-kepemilikan benda-benda, karir hidup yang materi sentris, membuat klasifikasi hitam putih seperti kaya-miskin, pintar bodoh atau mungkin kafir-muslim sehingga dengan mudah memberikan cap-cap kepada orang-orang dengan klasifikasi tersebut dan engkau mempunyai pengertian berbeda tentang hidup yang berlawanan kutub dengan materialisme, kapitalisme, industrialisme apakah yang akan engkau lakukan, tetap teguh dengan pendirianmu atau terseret arus di lingkungan sekitarmu. Apakah ketidaksetujuan terhadap lingkungan sekitarmu yang membuat dirimu gerah, pusing, tidak betah hidup akan tetap engkau pertahankan. Apa keputusanmu, tetap berusaha bergaul di lingkungan sekitarmu atau menjauhinya. Baiklah, engkau mencoba menahan berbagai benturan perasaan yang membuat hidupmu tidak betah kemudian en

Mencari Sesuap Nasi (Perenungan Idul Fitri 3)

Kalau engkau seorang ayah, ibu muda yang sedang giat-giatnya bekerja apakah kalimat yang tepat untuk mewakili perjuangan hidupmu. Apakah untuk mencari sesuap nasi, atau yang lebih to the point untuk menafkahi keluarga, atau demi anak saya rela melakukan apa saja   (dalam arti positif). Kalau perjuangan hidupmu tersebut diijabah oleh Allah kemudian Allah melimpahkan rizki berlimpah sehingga istri dan anak, atau suami dan anak bisa makan tiga kali sehari atau mungkin lebih, tabungan lebih dari cukup, bisa membangun rumah, bisa membeli kendaraan yang pantas atau mungkin mewah, bisa umroh dan mengumrohkan orang tua, bisa berbagi dengan sanak saudara apakah kalimat yang bisa mewakili perjuangan hidupmu. Apakah masih untuk mencari sesuap nasi, atau yang lebih to the point untuk menafkahi keluarga, atau demi anak saya rela melakukan apa saja (dalam arti positif). Kalau dalam posisi rizki melimpah tersebut tiba-tiba ada sesuatu yang berubah dalam perasaanmu, entah itu merasa menjadi orang

Balas Dendam Di Surga (Perenungan Idul Fitri 2)

Salah satu yang menghiasi suasana idul fitri adalah melankoli maaf-maafan. Orang menjadi sadar akan kesalahannya kepada orang lain, sehingga tak perlu sungkan lagi apabila harus menangis. Setelah terjadi adegan tersebut, rasa-rasanya terasa lega. Dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol yang terkadang bisa membuat lupa kalau baru saja saling memaafkan. Hal tersebut berlanjut tidak hanya secara personal saja, tetapi secara massal. Acara halal bi halal terus saja ada berurutan dari hari ke hari. Dimanapun tempatnya. Di rumah makan, di rumah tinggal, di hotel, di gedung-gedung. Kebersamaan yang terasa ketika idul fitri tidak hanya berhenti sampai di situ. Ada lagi satu hal yang kurang menarik jika tidak dilaksanakan. Mengunjungi tempat wisata. Entah itu rombongan keluarga, masyarakat, atau apa pun itu moment lebaran adalah moment yang rasa-rasanya kurang mantap kalau tidak dilalui untuk berwisata.       Kuliner juga tidak kalah populernya pada moment lebaran ini. Entah itu yang ada di

Latah Budaya atau Sungguh-sungguh Kepada Tuhan (Perenungan Idul Fitri 1)

Kalau kita mendengar suara Takbir apa yang ada di dalam pikiran kita. Ingat makna sejati dari kata pertama (Allah), kata kedua (Akbar), atau gabungan antara keduanya, atau ingat gegap gempita hari raya, atau musik perayaan gema takbir, atau kostum-kostum festival takbir, atau saudara-saudara jauh yang mudik, atau pakaian-pakaian baru, atau biasa saja, tidak ada yang istimewa.     Semalam suntuk, suara tersebut kita lantunkan. Paginya sebelum shalat idul fitri kita lantunkan. Namun, posisinya lebih serius mana, berbicara kotor, mengumpat karena kaki kesandung atau ketika melantunkan gema takbir dengan suara merdu tersebut. Lebih kita jiwai yang mana umpatan kita ketika sakit hati atau takbir kita di perayaan hari raya. Entah apa yang kita ingat, entah apa yang kita maknai, entah apa yang kita intensifi, entah apa yang kita seriusi, bangsa ini memang telah ditakdirkan dengan kemampuan untuk menciptakan keindahan-keindahan. Budaya keberagamaannya adalah salah satu bukti nyata cara

Bermasalah atau Tidak (Ramadlan 29)

Akhir Ramadlan adalah masa dimana kita menunggu hasil dari apa yang kita lakukan selama bulan Ramadlan. Apakah puasa sebatas menahan untuk kemudian bisa melampiaskan. Ataukah puasa sebagai pendidikan untuk mengendalikan. Apakah ibadah hanya sebatas hingar bingar, atau pengumpulan laba pribadi berupa pahala, ataukah suatu bukti nyata pengabdian cinta kepada-Nya. Minimal yang ditunggu-tunggu adalah apa yang terjadi dalam diri kita. Kalau yang terjadi di luar diri kita kiranya sudah bisa diprediksi. Misalnya, membludaknya tempat pariwisata, pesta kuliner, yang semuanya adalah aktivitas melampiaskan. Shalat dzuhur diabaikan karena sedang asyik main air di pantai, tanpa ingat, dulu ketika bulan Ramadlan begitu rajinnya ia shalat tarawih. Tanpa ingat, bahwa ia bangga karena sudah puasa satu bulan penuh.  Dari hal tersebut, kelihatannya terima kasihnya manusia kepada Allah adalah karena sudah memberikan moment-moment tertentu yang bisa dimanfaatkan untuk mengunggulkan ego-ego pribadi bu

GR dan Demi Sesuap Nasi (Ramadlan 28)

Selama hidupnya manusia dihinggapi rasa GR (gede rasa, terlalu percaya diri) yang luar biasa. Dia pikir sesuap nasi yang ia masukkan ke dalam perut adalah hasil jerih payahnya. Padahal kalau saja Tuhan tidak menggerakkan jantungnya, mana mungkin ia bisa menikmati sesuap nasi tersebut. Rasa GR ini bisa sampai meremehkan Tuhan. Dia meremehkan Tuhan kalau-kalau Tuhan tidak bertanggung jawab atas penciptaan manusia. Sehingga mayoritas manusia menjadikan dalih “demi sesuap nasi” untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan, penghancuran-penghancuran bangunan kemanusiaan. Dari artis artifisial sampai koruptor menjadikan dalih “demi sesuap nasi” sebagai alasan utama untuk memuja dunia, mengumpulkan harta benda, berbangga-bangga menumpuk harta.   Seakan-akan sesuap nasinya di esok hari tak dijamin oleh Tuhan. Seakan-akan perbuatannya pas, sesuai proporsi sehingga menyederhanakannya dengan demi sesuap nasi. Seakan-akan tidak ada akibat berupa penderitaan orang lain akibat dari perbuatan-perb

Pasif, Biasa dan Tidak Biasa (Ramadlan 27)

Ramadlan adalah hingar bingar, perayaan-perayaan dan gegap gempita dalam berbagai bidang kehidupan. Serta mentidakbiasakan ibadah sehingga ibadah juga dianggap sebagai hingar bingar, akhirnya di bulan ini orang total beribadah dan di bulan berikutnya belum tahu apakah masih sama atau tidak anggapan kita terhadap ibadah. Paling tidak itulah yang terlihat dari suasana dan nuansa Ramadlan di Negeri ini. Ini bukan permasalahan benar atau tidak, salah atau tidak. Ini hanya sekedar pemantik bagi kita semua untuk sedikit merenungkan apakah memang Ramadlan itu seyogyanya disikapi dengan sikap tidak biasa atau biasa saja. Sikap tidak biasa, biasanya berbanding lurus dengan pencapaian menuju titik puncak. Ia bersifat jangka pendek. Ketika mencapai klimaks maka seketika itu juga ia turun perlahan-lahan dan sangat mungkin akan sampai kepada titik terendahnya. Sikap tidak biasa, biasanya juga berbanding lurus dengan sikap mudah menyenangi sesuatu, mudah kagum akan sesuatu (dalam arti negatif)

Yang Butuh Kita, Bukan Dia (Ramadlan 26)

Debu adalah penanda waktu yang lebih nyata daripada sekedar pergerakan jarum jam. Karena di dalam debu ada sebuah dialektika antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga di dalam debu ada nilai waktu yang lebih ngeh di hati, tidak kering. Ketika suatu tempat terlihat banyak debunya berarti tempat tersebut jarang didatangi manusia. Ketika tempat tersebut sedikit debunya berarti sering dipakai manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa debu juga bisa diartikan sebagai simbol yang mengingatkan manusia bahwa hidup itu ada wilayah kotornya. Sehingga tugas manusia adalah membersihkan wilayah-wilayah tersebut secara berkala. Itu mutlak. Karena serapat-rapatnya ruangan, apabila tidak pernah dibersihkan pasti akan banyak debunya. Begitu juga dengan manusia, sesuci-sucinya manusia, pasti ada debu-debu yang menempel di dalam dirinya. Manusia juga harus selalu membersihkan dirinya secara berkala. Kalau secara fisik untuk membersihkannya dengan mandi, sehari dua kali misalnya. Kalau un

Saya Dloluman Jahula ? (Ramadlan 25)

Kehidupan ini berawal dari kerelaan-Nya untuk memisahkan diri dengan diri-Nya. Walaupun sejatinya tetaplah satu. Dalam keterpisahan itu diri-Nya yang sejati memberikan segalanya kepada yang terpisah. Pemberiannya tak terbatas. Tak akan pernah bisa dihitung, ditulis dan dirumuskan detailnya. Ciptaan-Nya selain Manusia dan Jin, seperti Malaikat, Iblis, Setan, Alam, Batu, Tumubuhan, Hewan sudah diprogram sedemikian rupa untuk tidak mempunyai kemungkinan lain selain memberi. Malaikat total melayani. Iblis total menyediakan rintangan hidup, bersama setan, supaya manusia bisa meningkat kualitasnya, derajatnya. Alam menyediakan berbagai hal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Batu, tumbuhan, hewan tidak mempunyai kemungkinan lain selain siap memberikan seluruh dirinya untuk di khalifahi manusia. Maka, memberi adalah suatu keniscayaan hidup. Tidak bisa tidak. Supaya kehidupan berjalan dengan seimbang segala unsur yang ada di alam semesta harus saling memberi satu sama lain. Kekasih-Ny

Hanyalah Sang Maha Ada (Ramadlan 24)

Manusia diberi kesadaraan ada oleh Yang Maha Ada. Sehingga manusia merasa benar-benar ada. Dan itulah cara Tuhan membuat subyek kecil bernama manusia ini supaya sungguh-sungguh dalam menjalani kehidupannya.   Seringkali kesadaraan ada ini disalahpahami. Manusia menganggap kesadaran ada itu ada dengan tolok ukur pancaindera. Sehingga ada itu dianggap sebatas yang mampu dicerna oleh pancaindera. Padahal pancaindera itu hanyalah bagian kecil fasilitas yang diberikan oleh Tuhan sebagai bagian dari pemberian kesadaran ada. Kesalahpahaman tersebut adalah bias dari adanya kesadaran ada. Adanya bias tersebut menunjukkan bahwa kesadaran ada itu benar-benar diberikan oleh Tuhan dengan sungguh-sungguh jauh melebihi apa yang dianggap sungguh oleh subyek kecil bernama manusia. Sebagaimana cahaya yang menyinari suatu benda, pastilah ada bayangan dari benda yang terkena cahaya sehingga jelas bahwa dalam keadaan tersebut ada cahaya. Bias itu mempunyai proporsi tertentu untuk menegaskan ke-ada-an

Rebutan Permen (Ramadlan 23)

Sepuh, sebuah kata yang familiar di kalangan orang-orang Jawa. Namun familiarnya kata tersebut tidak berbanding lurus dengan wilayah implementatifnya. Dalam kehidupan, sepuh semakin jarang ditemui. Sepuh itu bukan tua. Tua itu hanya persoalan umur. Sepuh adalah suatu tingkat kematangan seseorang dalam kehidupan. Orang yang umurnya tua belum tentu sepuh, begitu juga orang yang umurnya masih muda belum tentu tidak sepuh. Bisa jadi orang yang umurnya masih muda justru yang sepuh. Kematangan tersebut tercermin dalam pengambilan keputusan-keputusan dan perilaku baik yang bersifat individu ataupun sosial. Dalam kehidupan zaman modern yang terlanjur menyepakati kalah-menang sebagai sistem yang dianut ini, tuanya umur justru dimanfaatkan bahwa yang tualah yang terbaik, yang tualah yang menang. Hal tersebut bukan tidak berakibat apa-apa. Terjadi efek domino yang terus terjadi entah sampai kapan. Pertunjukan kalah menang tersebut bukan hanya di wilayah sosial dalam skala kecil saja, tetapi

Belajar Mengerti Pola Komunikasi Allah (Ramadlan 22)

Allah pernah bilang bahwa bersamaan dengan kesulitan ada kemudahan. Pernyataan Allah tersebut bisa kita perluas asosiasinya. Misalnya, solusi dari masalah tersembunyi dalam masalah tersebut. Atau, pembuat racun adalah yang paling tahu penawarnya. Bisa juga, obat dari sebuah penyakit bisa dicari di tempat penghasil penyakit tersebut. Dengan cara pandang tersebut kita bisa mengupas permasalahan kecil sampai besar umat manusia. Hal ini tidak bersifat mutlak. Hanya bersifat tadabbur (usaha mencari manfaat) saja. Untuk kebenaran mutlak tentu hanya Sang Pemilik Kebenaran yang tahu. Pada kesempatan lain Allah menceritakan tentang kehidupan awal manusia yang bertempat di surga. Simbah Adam sebagai manusia pertama menemui masalah pertama yaitu, talbis (penipuan) yang dilakukan oleh Iblis. Simbah Adam yang pengalaman hidupnya masih kurang , tidak mengerti kalau beliau ditipu. Akhirnya beliau berani melanggar larangan Allah untuk tidak mendekati sebuah pohon. Didekatilah pohon tersebut y

Hari Perempuan Nasional (Tulisan Hasil Loading Ilmu-ilmu Maiyah) (Ramadlan 21)

Menurut seorang seorang filolog di Indonesia yang satu-satunya ahli bahasa Sansekerta dari Indonesia, yaitu Pak Manu J. Widyaseputra di acara Sarasehan Budaya yang diselenggarakan pada hari kamis, 27 April 2017 yang bertempat di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib (EAN) atau yang biasa disebut sebagai Rumah Maiyah, dengan telaahnya menggunakan ilmu grammar bahasa Sansekerta yang disebut Nirukta kata perempuan berasal dari kata dasar empu. Menjadi perempuan karena diawali dengan tambahan per di bagian depan dan an dibagian akhir. Empu artinya orang-orang yang melakukan pekerjaan terhormat, salah satunya yang mendominasi kegiatan pertanian. Dulu di zaman para nenek moyang bangsa Nusantara kegiatan pertanian adalah suatu kegiatan terhormat. Sehingga perempuan adalah orang yang diper-empu-kan, atau orang-orang yang dipercaya melakukan pekerjaan terhormat. Untuk urusan kata, seringkali orang Indonesia tidak terlalu peduli. Sehingga, penggunaan kata perempuan dan wanita dianggap sama saja. Pere