Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Mencari Sesuap Nasi (Perenungan Idul Fitri 3)

Kalau engkau seorang ayah, ibu muda yang sedang giat-giatnya bekerja apakah kalimat yang tepat untuk mewakili perjuangan hidupmu. Apakah untuk mencari sesuap nasi, atau yang lebih to the point untuk menafkahi keluarga, atau demi anak saya rela melakukan apa saja   (dalam arti positif). Kalau perjuangan hidupmu tersebut diijabah oleh Allah kemudian Allah melimpahkan rizki berlimpah sehingga istri dan anak, atau suami dan anak bisa makan tiga kali sehari atau mungkin lebih, tabungan lebih dari cukup, bisa membangun rumah, bisa membeli kendaraan yang pantas atau mungkin mewah, bisa umroh dan mengumrohkan orang tua, bisa berbagi dengan sanak saudara apakah kalimat yang bisa mewakili perjuangan hidupmu. Apakah masih untuk mencari sesuap nasi, atau yang lebih to the point untuk menafkahi keluarga, atau demi anak saya rela melakukan apa saja (dalam arti positif). Kalau dalam posisi rizki melimpah tersebut tiba-tiba ada sesuatu yang berubah dalam perasaanmu, entah itu merasa menjadi orang

Balas Dendam Di Surga (Perenungan Idul Fitri 2)

Salah satu yang menghiasi suasana idul fitri adalah melankoli maaf-maafan. Orang menjadi sadar akan kesalahannya kepada orang lain, sehingga tak perlu sungkan lagi apabila harus menangis. Setelah terjadi adegan tersebut, rasa-rasanya terasa lega. Dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol yang terkadang bisa membuat lupa kalau baru saja saling memaafkan. Hal tersebut berlanjut tidak hanya secara personal saja, tetapi secara massal. Acara halal bi halal terus saja ada berurutan dari hari ke hari. Dimanapun tempatnya. Di rumah makan, di rumah tinggal, di hotel, di gedung-gedung. Kebersamaan yang terasa ketika idul fitri tidak hanya berhenti sampai di situ. Ada lagi satu hal yang kurang menarik jika tidak dilaksanakan. Mengunjungi tempat wisata. Entah itu rombongan keluarga, masyarakat, atau apa pun itu moment lebaran adalah moment yang rasa-rasanya kurang mantap kalau tidak dilalui untuk berwisata.       Kuliner juga tidak kalah populernya pada moment lebaran ini. Entah itu yang ada di

Latah Budaya atau Sungguh-sungguh Kepada Tuhan (Perenungan Idul Fitri 1)

Kalau kita mendengar suara Takbir apa yang ada di dalam pikiran kita. Ingat makna sejati dari kata pertama (Allah), kata kedua (Akbar), atau gabungan antara keduanya, atau ingat gegap gempita hari raya, atau musik perayaan gema takbir, atau kostum-kostum festival takbir, atau saudara-saudara jauh yang mudik, atau pakaian-pakaian baru, atau biasa saja, tidak ada yang istimewa.     Semalam suntuk, suara tersebut kita lantunkan. Paginya sebelum shalat idul fitri kita lantunkan. Namun, posisinya lebih serius mana, berbicara kotor, mengumpat karena kaki kesandung atau ketika melantunkan gema takbir dengan suara merdu tersebut. Lebih kita jiwai yang mana umpatan kita ketika sakit hati atau takbir kita di perayaan hari raya. Entah apa yang kita ingat, entah apa yang kita maknai, entah apa yang kita intensifi, entah apa yang kita seriusi, bangsa ini memang telah ditakdirkan dengan kemampuan untuk menciptakan keindahan-keindahan. Budaya keberagamaannya adalah salah satu bukti nyata cara

Bermasalah atau Tidak (Ramadlan 29)

Akhir Ramadlan adalah masa dimana kita menunggu hasil dari apa yang kita lakukan selama bulan Ramadlan. Apakah puasa sebatas menahan untuk kemudian bisa melampiaskan. Ataukah puasa sebagai pendidikan untuk mengendalikan. Apakah ibadah hanya sebatas hingar bingar, atau pengumpulan laba pribadi berupa pahala, ataukah suatu bukti nyata pengabdian cinta kepada-Nya. Minimal yang ditunggu-tunggu adalah apa yang terjadi dalam diri kita. Kalau yang terjadi di luar diri kita kiranya sudah bisa diprediksi. Misalnya, membludaknya tempat pariwisata, pesta kuliner, yang semuanya adalah aktivitas melampiaskan. Shalat dzuhur diabaikan karena sedang asyik main air di pantai, tanpa ingat, dulu ketika bulan Ramadlan begitu rajinnya ia shalat tarawih. Tanpa ingat, bahwa ia bangga karena sudah puasa satu bulan penuh.  Dari hal tersebut, kelihatannya terima kasihnya manusia kepada Allah adalah karena sudah memberikan moment-moment tertentu yang bisa dimanfaatkan untuk mengunggulkan ego-ego pribadi bu

GR dan Demi Sesuap Nasi (Ramadlan 28)

Selama hidupnya manusia dihinggapi rasa GR (gede rasa, terlalu percaya diri) yang luar biasa. Dia pikir sesuap nasi yang ia masukkan ke dalam perut adalah hasil jerih payahnya. Padahal kalau saja Tuhan tidak menggerakkan jantungnya, mana mungkin ia bisa menikmati sesuap nasi tersebut. Rasa GR ini bisa sampai meremehkan Tuhan. Dia meremehkan Tuhan kalau-kalau Tuhan tidak bertanggung jawab atas penciptaan manusia. Sehingga mayoritas manusia menjadikan dalih “demi sesuap nasi” untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan, penghancuran-penghancuran bangunan kemanusiaan. Dari artis artifisial sampai koruptor menjadikan dalih “demi sesuap nasi” sebagai alasan utama untuk memuja dunia, mengumpulkan harta benda, berbangga-bangga menumpuk harta.   Seakan-akan sesuap nasinya di esok hari tak dijamin oleh Tuhan. Seakan-akan perbuatannya pas, sesuai proporsi sehingga menyederhanakannya dengan demi sesuap nasi. Seakan-akan tidak ada akibat berupa penderitaan orang lain akibat dari perbuatan-perb

Pasif, Biasa dan Tidak Biasa (Ramadlan 27)

Ramadlan adalah hingar bingar, perayaan-perayaan dan gegap gempita dalam berbagai bidang kehidupan. Serta mentidakbiasakan ibadah sehingga ibadah juga dianggap sebagai hingar bingar, akhirnya di bulan ini orang total beribadah dan di bulan berikutnya belum tahu apakah masih sama atau tidak anggapan kita terhadap ibadah. Paling tidak itulah yang terlihat dari suasana dan nuansa Ramadlan di Negeri ini. Ini bukan permasalahan benar atau tidak, salah atau tidak. Ini hanya sekedar pemantik bagi kita semua untuk sedikit merenungkan apakah memang Ramadlan itu seyogyanya disikapi dengan sikap tidak biasa atau biasa saja. Sikap tidak biasa, biasanya berbanding lurus dengan pencapaian menuju titik puncak. Ia bersifat jangka pendek. Ketika mencapai klimaks maka seketika itu juga ia turun perlahan-lahan dan sangat mungkin akan sampai kepada titik terendahnya. Sikap tidak biasa, biasanya juga berbanding lurus dengan sikap mudah menyenangi sesuatu, mudah kagum akan sesuatu (dalam arti negatif)

Yang Butuh Kita, Bukan Dia (Ramadlan 26)

Debu adalah penanda waktu yang lebih nyata daripada sekedar pergerakan jarum jam. Karena di dalam debu ada sebuah dialektika antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga di dalam debu ada nilai waktu yang lebih ngeh di hati, tidak kering. Ketika suatu tempat terlihat banyak debunya berarti tempat tersebut jarang didatangi manusia. Ketika tempat tersebut sedikit debunya berarti sering dipakai manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa debu juga bisa diartikan sebagai simbol yang mengingatkan manusia bahwa hidup itu ada wilayah kotornya. Sehingga tugas manusia adalah membersihkan wilayah-wilayah tersebut secara berkala. Itu mutlak. Karena serapat-rapatnya ruangan, apabila tidak pernah dibersihkan pasti akan banyak debunya. Begitu juga dengan manusia, sesuci-sucinya manusia, pasti ada debu-debu yang menempel di dalam dirinya. Manusia juga harus selalu membersihkan dirinya secara berkala. Kalau secara fisik untuk membersihkannya dengan mandi, sehari dua kali misalnya. Kalau un

Saya Dloluman Jahula ? (Ramadlan 25)

Kehidupan ini berawal dari kerelaan-Nya untuk memisahkan diri dengan diri-Nya. Walaupun sejatinya tetaplah satu. Dalam keterpisahan itu diri-Nya yang sejati memberikan segalanya kepada yang terpisah. Pemberiannya tak terbatas. Tak akan pernah bisa dihitung, ditulis dan dirumuskan detailnya. Ciptaan-Nya selain Manusia dan Jin, seperti Malaikat, Iblis, Setan, Alam, Batu, Tumubuhan, Hewan sudah diprogram sedemikian rupa untuk tidak mempunyai kemungkinan lain selain memberi. Malaikat total melayani. Iblis total menyediakan rintangan hidup, bersama setan, supaya manusia bisa meningkat kualitasnya, derajatnya. Alam menyediakan berbagai hal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Batu, tumbuhan, hewan tidak mempunyai kemungkinan lain selain siap memberikan seluruh dirinya untuk di khalifahi manusia. Maka, memberi adalah suatu keniscayaan hidup. Tidak bisa tidak. Supaya kehidupan berjalan dengan seimbang segala unsur yang ada di alam semesta harus saling memberi satu sama lain. Kekasih-Ny

Hanyalah Sang Maha Ada (Ramadlan 24)

Manusia diberi kesadaraan ada oleh Yang Maha Ada. Sehingga manusia merasa benar-benar ada. Dan itulah cara Tuhan membuat subyek kecil bernama manusia ini supaya sungguh-sungguh dalam menjalani kehidupannya.   Seringkali kesadaraan ada ini disalahpahami. Manusia menganggap kesadaran ada itu ada dengan tolok ukur pancaindera. Sehingga ada itu dianggap sebatas yang mampu dicerna oleh pancaindera. Padahal pancaindera itu hanyalah bagian kecil fasilitas yang diberikan oleh Tuhan sebagai bagian dari pemberian kesadaran ada. Kesalahpahaman tersebut adalah bias dari adanya kesadaran ada. Adanya bias tersebut menunjukkan bahwa kesadaran ada itu benar-benar diberikan oleh Tuhan dengan sungguh-sungguh jauh melebihi apa yang dianggap sungguh oleh subyek kecil bernama manusia. Sebagaimana cahaya yang menyinari suatu benda, pastilah ada bayangan dari benda yang terkena cahaya sehingga jelas bahwa dalam keadaan tersebut ada cahaya. Bias itu mempunyai proporsi tertentu untuk menegaskan ke-ada-an

Rebutan Permen (Ramadlan 23)

Sepuh, sebuah kata yang familiar di kalangan orang-orang Jawa. Namun familiarnya kata tersebut tidak berbanding lurus dengan wilayah implementatifnya. Dalam kehidupan, sepuh semakin jarang ditemui. Sepuh itu bukan tua. Tua itu hanya persoalan umur. Sepuh adalah suatu tingkat kematangan seseorang dalam kehidupan. Orang yang umurnya tua belum tentu sepuh, begitu juga orang yang umurnya masih muda belum tentu tidak sepuh. Bisa jadi orang yang umurnya masih muda justru yang sepuh. Kematangan tersebut tercermin dalam pengambilan keputusan-keputusan dan perilaku baik yang bersifat individu ataupun sosial. Dalam kehidupan zaman modern yang terlanjur menyepakati kalah-menang sebagai sistem yang dianut ini, tuanya umur justru dimanfaatkan bahwa yang tualah yang terbaik, yang tualah yang menang. Hal tersebut bukan tidak berakibat apa-apa. Terjadi efek domino yang terus terjadi entah sampai kapan. Pertunjukan kalah menang tersebut bukan hanya di wilayah sosial dalam skala kecil saja, tetapi

Belajar Mengerti Pola Komunikasi Allah (Ramadlan 22)

Allah pernah bilang bahwa bersamaan dengan kesulitan ada kemudahan. Pernyataan Allah tersebut bisa kita perluas asosiasinya. Misalnya, solusi dari masalah tersembunyi dalam masalah tersebut. Atau, pembuat racun adalah yang paling tahu penawarnya. Bisa juga, obat dari sebuah penyakit bisa dicari di tempat penghasil penyakit tersebut. Dengan cara pandang tersebut kita bisa mengupas permasalahan kecil sampai besar umat manusia. Hal ini tidak bersifat mutlak. Hanya bersifat tadabbur (usaha mencari manfaat) saja. Untuk kebenaran mutlak tentu hanya Sang Pemilik Kebenaran yang tahu. Pada kesempatan lain Allah menceritakan tentang kehidupan awal manusia yang bertempat di surga. Simbah Adam sebagai manusia pertama menemui masalah pertama yaitu, talbis (penipuan) yang dilakukan oleh Iblis. Simbah Adam yang pengalaman hidupnya masih kurang , tidak mengerti kalau beliau ditipu. Akhirnya beliau berani melanggar larangan Allah untuk tidak mendekati sebuah pohon. Didekatilah pohon tersebut y

Hari Perempuan Nasional (Tulisan Hasil Loading Ilmu-ilmu Maiyah) (Ramadlan 21)

Menurut seorang seorang filolog di Indonesia yang satu-satunya ahli bahasa Sansekerta dari Indonesia, yaitu Pak Manu J. Widyaseputra di acara Sarasehan Budaya yang diselenggarakan pada hari kamis, 27 April 2017 yang bertempat di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib (EAN) atau yang biasa disebut sebagai Rumah Maiyah, dengan telaahnya menggunakan ilmu grammar bahasa Sansekerta yang disebut Nirukta kata perempuan berasal dari kata dasar empu. Menjadi perempuan karena diawali dengan tambahan per di bagian depan dan an dibagian akhir. Empu artinya orang-orang yang melakukan pekerjaan terhormat, salah satunya yang mendominasi kegiatan pertanian. Dulu di zaman para nenek moyang bangsa Nusantara kegiatan pertanian adalah suatu kegiatan terhormat. Sehingga perempuan adalah orang yang diper-empu-kan, atau orang-orang yang dipercaya melakukan pekerjaan terhormat. Untuk urusan kata, seringkali orang Indonesia tidak terlalu peduli. Sehingga, penggunaan kata perempuan dan wanita dianggap sama saja. Pere

Allah Maha Berpuasa (Ramadlan 20)

Sudah menjadi pemahaman mayoritas manusia bahwa dalam kehidupan ini ada suatu pola yang disebut sebagai sebab – akibat. Perumusan, pemetaan berbagai hal seringkali disandarkan pada pola tersebut. Dan saya kira, selama ini sangat efektif. Kalaupun ada sedikit kesalahan berarti yang salah adalah manusianya. Karena sebab – akibat itu alamiah, sunnatullah . Tetapi, bukan berarti tidak terdapat anomali. Pada keadaan-keadaan tertentu terdapat anomali. Matematika saja ada anomalinya. Kita ambil contoh nol pangkat nol. Perhitungan tersebut hasilnya ada dua, bisa nol, bisa juga satu. Hasil nol karena yang dipangkatkan adalah nol. Hasil satu karena semua angka yang dipangkatkan nol hasilnya satu. Dan pada keadaan apa, titik berat yang seperti apa hasilnya lebih cenderung ke satu, atau lebih cenderung ke nol, tidak bisa dirumuskan. Begitu juga anomali perihal sebab – akibat tersebut. Tidak bisa di rumuskan. Mungkin ada gejala-gejala tertentu yang bisa dikenali, tetapi pada wilayah detail tetap

Semoga Mereka Segera Diberi Hidayah (Ramadlan 19)

Di kalangan rakyat kecil kehidupan berjalan seperti biasanya, lancar, aman, damai dan tenteram. Para penjual di pasar dapat berjualan dengan lancar. Para petani melakukan aktivitasnya dengan bersemangat. Semua orang dapat beribadah secara tenang. Suara adzan, sholawat setiap hari masih terdengar di masjid-masjid. Ketika malam tiba, semua orang dapat istirahat secara damai. Tetapi, jauh di seberang sana terjadi kegaduhan yang luar biasa. Pemimpin beralih menjadi penguasa. Para penguasa saling berebut kekuasaan. Mengalahkan sana, mengalahkan sini. Menjatuhkan sana, menjatuhkan sini. Tidak berhenti sampai di situ. Virus kebencian itu disebar-sebarkan. Rakyat diseret-seret untuk ikut membenci. Akhirnya suasana damai itu berubah menjadi tidak damai. Hati yang tadinya tenang menjadi tidak tenang. Ketika istirahat, ingin melihat hiburan di TV malah membuat hati menjadi emosi. Secara latah ikut membenci sana, membenci sini dengan mengeluarkan komentar-komentar bernada sinis. Perasaan itu di

Ternyata Salah Tujuan (Ramadlan 18)

Ketika melihat orang-orang berjubel memenuhi pusat perbelanjaan muncul pertanyaan di benak saya. Sebenarnya yang dicari manusia itu apa dalam hidupnya. Mengapa bisa begitu luar biasanya manusia mencurahkan waktu, energi, harta hanya untuk menuruti perilaku konsumtif. Secara random juga muncul pertanyaan-pertanyaan lain. Apakah yang mereka beli benar-benar mereka butuhkan. Atau hanya sekedar tidak tahu mau memakai uang untuk apa kemudian berbelanja.   Awalnya, saya geli juga mengapa kok tiba-tiba banyak pertanyaan muncul yang sebenarnya juga tidak penting-penting amat bagi hidup saya. Namun, rentetan pertanyaan tersebut malah membawa saya kepada suatu perenungan pribadi. Dari berbagai pertanyaan tersebut ada sesuatu hal yang saya dapatkan. Bukan pada kalimat pertanyaannya, bukan pada bentuk pertanyaannya. Yang pasti lebih substansial menurut saya. Jika dibuat sebuah kalimat kiranya seperti ini, ada sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan manusia saat ini. Coba bayangkan, dalam ke

Berpuasa untuk Melampiaskan (Ramadlan 17)

Segala sesuatu bisa bernilai positif juga bisa bernilai negatif. Tidak pasti yang secara gamblang bernilai positif pada prosesnya benar-benar bernilai positif. Begitu juga sebaliknya. Misalnya sikap sombong, kebanyakan manusia pasti memahaminya sebagai suatu sikap negatif dalam kehidupan. Apalagi diperkuat dengan berbagai data yang menunjukkan bahwa sombong itu sejalan dengan kehancuran-kehancuran. Tetapi, tidak berarti, pada posisi tertentu sikap sombong ini bernilai negatif. Kalau kita mempunyai masalah dan kita sombong kepada si masalah ini akan bernilai positif. Kita bisa merasa lebih besar dari masalah yang membuat kita bisa menyelesaikannya.   Kita ambil contoh yang lain, misalnya tentang makanan halal. Makanan halal yang dimakan pada porsi tertentu bisa benar-benar bermakna halal, tetapi dalam keadaan tertentu bisa bergeser kehalalannya. Kalau kita makan dengan porsi wajar kemudian di sekitar kita tidak ada yang membutuhkan bantuan makanan maka keadaan makanan tersebut benar-b

Ihdinas shirothol mustaqim (Ramadlan 16)

Hal yang paling sulit ditemui di zaman modern adalah menjadi biasa saja. Segala hal diubah supaya rasanya menjadi tidak biasa. Harus ada hingar bingarnya. Harus ada sesuatu yang membuat orang takjub. Tidak tahu, semenjak kapan manusia didik untuk tidak menganggap sesuatu secara biasa.   Dan saat-saat ini adalah puncak-puncaknya hal-hal yang berlebihan-berlebihan tersebut. Ramadlan harus ada spanduk, kalau bisa lebih dari itu, jalan-jalan didekorasi sedemikian rupa supaya nuansanya agak berbeda. Supaya lebih meriah lagi harus ada pasar Ramadlan. Tujuh belas Agustusan harus ada hiasan-hiasan jalan yang menunjukkan bahwa sekarang adalah perayaan tujuh belas Agustus-an.  Kebiasaan untuk menjadi berlebihan di dalam ranah sosial tersebut diam-diam diadobsi dalam taraf individu. Jadilah sebuah prinsip, “saya harus wah”. Tidak boleh ada orang lain yang memiliki barang ini selain saya. Saya pasti akan menjadi ter..... dari yang lain.  Akhirnya, kehidupan disibukkan untuk pencapaian

Aksi Mengenyangkan Tanpa Henti (Ramadlan 15)

Mata itu tidak bisa melihat dirinya sendiri. Mata dengan dirinya sendiri terbentang jarak yang sangat jauh justru berkaitan dengan kemampuan utama mata itu sendiri berupa penglihatan. Kalaupun ada media semacam cermin, yang muncul di cermin bukanlah mata asli, tetapi pantulan gambar mata. Tidak usah mata, wajah saja yang unsur-unsurnya berada di luar mata adalah salah satu yang tidak bisa dilihat secara langsung oleh manusia itu sendiri. Padahal secara bentuk keindahan wajahlah puncak dari keindahan organ tubuh. Begitu juga diri secara keseluruhan. Sesuatu yang terdekat, sekaligus terjauh. Karena, sebenarnya puncak dari jauh itu dekat, puncak dari dekat jauh.  Hal tersebut seperti mengisyaratkan banyak hal. Misalnya, kenapa manusia tidak bisa melihat dengan jarak yang wajar secara langsung wajahnya sendiri, bisa jadi Mengisyaratkan bahhwa hidup itu bukan hanya persoalan rupa dan materi saja. Atau kenapa diri sendiri adalah yang terdekat sekaligus terjadu, bisa jadi mengisyaratkan

Jasmani – Rohani, Rohani – Jasmani (Ramadlan 14)

Hidup adalah pergerakan rohani-jasmani, jasmani-rohani. Bukan berarti jika yang disebutkan pertama kata rohani hal tersebutlah yang terpenting. Atau sebaliknya bukan berarti ketika dijelaskan bahwa rohani bukanlah yang terpenting, jasmani tidak penting. Analogi rohani-jasmani, jasmani-rohani hanya sebatas upaya keterbatasan saya untuk mendeskripsikan sesuatu. Yang penting adalah pergerakannya bukan pada simbol-simbolnya. Jika dikupas lagi, di dalamnya ada pergerakan padat-tidak padat, tidak padat-padat. Pergerkan dinamis, terus bergerak. Karena adanya pergerakan tersebutlah ada berbagai output dalam kehidupan. Dalam kondisi normal seorang manusia seyogyanya tidak marah, tapi dalam kondisi tertentu yang mungkin sangat kepepet ia boleh marah. Marah dalam kondisi yang bisa dikendalikan. Kondisi normal adalah ketika perasaan kita tidak kita padatkan, ia serasa luas, tidak terasa sesak di dada. Saat kepepet dan marah berarti kita melakukan tekanan pada hati untuk menjadi marah, ia dipadat

Ghirah (Ramadlan 13)

Ghirah (Arab), gairah, semangat adalah sesuatu yang cukup misterius. Seakan-akan ia bisa dikendalikan, namun dalam keadaan tak terduga tiba-tiba menjadi hilang. Dan kebanyakan manusia tidak bisa merumuskan kemana hilangnya, apa penyebabnya. Juga dalam waktu yang tidak terduga, tanpa ada sebab yang jelas tiba-tiba ada bahkan bisa sampai meluap-luap. Dengan adanya ghirah, gairah, semangat seorang manusia bisa melakukan upaya. Akalnya bisa bekerja, tubuhnya bisa bergerak untuk mengupayakan suatu tujuan hidup yang lebih baik ke depannya. Dalam dunia modern ghirah, gairah, semangat selalu berkaitan dengan hasil puncak yang terkadang tergelincir menjadi obsesi dan ambisi. Misalnya, sukses itu sama minimal sama dengan kaya, maksimalnya kaya dan punya kekuasaan, sehingga dihormati oleh banyak manusia lain. Ghirah yang tadinya tidak padat dipadatkan menjadi pencapaian tertentu yang kasat mata. Kalau kita hubungkan dengan fitrah kemanusiaan menurut Sang Pemilik Hidup langsung mungkin a

Ujian Remeh (Ramadlan 12)

Pada keadaan yang remeh dan tidak terduga bisa saja kita sedang berposisi diuji oleh Allah. Ujian tidak pasti yang berat-berat. Terkadang kemampuan kita sebagai seorang manusia bisa terbukti dan teruji hanya melalui sebuah ujian yang dianggap remeh.   Misalnya saja kita puasa seharian penuh, tiba-tiba saja menjelang buka puasa makanan yang sudah kita persiapkan secara istimewa dikerubungi oleh banyak semut, bagaimana sikap kita, marahkan atau dengan sabar membersihkan semut-semut tersebut atau seperti apa. Jika kita memutuskan untuk marah mungkin bisa dianggap sebagai pertanda bahwa puasa seharian kita kurang berhasil karena kita masih belum bisa mengendalikan amarah kita, apalagi kalau ditambah dengan sikap melampiaskan seperti membanting makanan tersebut atau membuangnya dengan muka masam. Jika kita dengan sabar membersihkan semut-semut walaupun hati tetap menggerundal berarti kita setia dengan apa yang kita jalani sehari penuh. Secara teoritis karena berjarak atau tidak me

Keanehan Ramadlan yang Tidak Aneh (Ramadlan 11)

Jika dilihat dari grafiknya, antusiasme masyarakat di negeri ini berkaitan dengan Ramadlan itu sangat tinggi di awal, menurun di tengah, dan meninggi lagi menjelang akhir. Salah satu indikatornya bisa dilihat di pelaksanaan-pelaksanaan ritual ibadah. Seperti shalat tarawih dan shalat subuh.   Di sisi lain, ada grafik yang meningkat. Grafik tersebut berkaitan dengan hingar bingar lalu lintas materialisme di bulan Ramadlan. Misalnya, semakin mendekati akhir Ramadlan perilaku konsumtif, belanja apa saja semakin meningkat. Atau kegiatan buka bersama semakin sering diadakan. Secara tidak langsung keadaan tersebut menandakan bahwa masyarakat di negeri ini masih terkungkung pada keadaan yang terbalik. Ramadlan yang secara esensial bertujuan membangun kualitas manusia malah grafik peningkatan dalam hal esesnsinya tidak stabil. Kuantitas, materi yang hanya berposisi sangat-sangat sekunder bagi hidup manusia justru menjadi perhatian khusus dan terus mengalami peningkatan grafik yang ko