Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2017

Pertunjukan Seonggok Daging

Perntanyaan-pertanyaan besar manusia, sebenarnya berasal dari dirinya sendiri yang jawabannya juga ada dalam dirinya sendiri. Segalanya tersimpan dalam diri yang begitu misterius. Apakah itu tentang Tuhan, atau sekadar rasa bahagia, juga rasa kecewa.   Setiap saat manusia selalu saja menemukan pertanyaan-pertanyaan. Minimal tentang rasa bosannya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut jugalah yang mempertegas adanya makhluk bernama manusia. Berawal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut manusia sedikit demi sedikit mengerti, menemukan, mencoba mengolah fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Tuhan. Dalam hal ini akan terlihat perbedaan antara manusia dengan makhluk yang lain. Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan bias yang menghambat proses kehidupan manusia itu sendiri. Biasnya berupa permasalahan yang awalnya hanya berasal dari kurangnya akurasi pengambilan sikap.   Kebahagiaan ada di dalam dirinya sendiri, kecewa ada di dalam dirinya sendiri. Pengertian-pengerti

Sudah Berapa ?

Bangsa ini terlalu akrab dengan kepura-puraan. Sudah sangat biasa berkata ini ternyata yang dilakukan itu. Dalam wilayah hidup tertentu boleh-boleh saja. Misal, wilayah sastra, khususnya puisi. Tetapi tidak semua wilayah memakai konotasi-konotasi. Ada wilayah yang memang harus kaku, padat. Dimana saja semua orang sudah tahu, kalau laporan keuangan pasti tidak apa adanya, dimanipulasi supaya terlihat logis dan itu dianggap sah-sah saja. Berpura-pura dari atas mengawasi yang di bawah. Padahal yang di atas sudah tahu bahwa yang dicek itu adalah hasil manipulasi-manipulasi.   Semua sudah tahu kalau administrasi guru hanya sekadar syarat mencairkan gaji. Sehingga jelas, berfungsi atau tidak, tidak masalah. Yang penting terlihat logis, dan wangun atau pantas. Kemudian, tiba-tiba ada seseorang yang dipekerjakan sebagai pengawas, yang jelas-jelas sudah tahu bahwa yang diawasi dan dicek administrasinya sudah melakukan manipulasi-manipulasi.   Masih sangat banyak, kepura-puraan yang dise

Anak Kecil atau Orang Tua Pikun

Bangsa ini mempunyai permasalahan yang cukup serius dengan keseriusan. Serius adalah sesuatu yang sulit bagi bangsa ini. Ketidakseriusan masal terjadi dalam segala bidang di negeri ini. Berbagai kesepakatan telah dibuat. Tetapi, lagi-lagi ketidakseriusan yang menggagalkannya. Salah satu puncak ketidakseriusannya adalah tentang dasar negara. Dasar Negara adalah prinsip yang jelas membutuhkan keseriusan untuk melaksanakannya. Tetapi dasar Negara hanya ditempatkan pada posisi sebagai wangun-wangun , sesuatu yang memperindah. Terletak dipinggiran, yang tidak terlalu diperhatikan. Kita sudah sepakat bahwa ketuhanan yang Maha Esa adalah sila ke-satu. Secara implementatif ternyata kita belum sepakat dengan sila tersebut. Silahkan saja bilang, “kami sudah sepakat”. Tetapi apakah semua itu terbukti dengan semakin meruncingnya permusuhan, silang sengkarut permasalahan, juga tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita ini memang b

Om Tulalit Om

Keindahan karya seni itu luas. Titik berat keindahannya tidak tergantung pada standar keindahan yang dipahami oleh si pembuat karya. Begitu juga dengan maknanya, tidak hanya tergantung pada makna yang diselipkan oleh si pembuat karya pada karya seninya.   Ada berbagai kemungkinan kriteria keindahan, juga pemaknaan dari sebuah karya seni. Kemungkinan yang jumlahnya tidak terbatas. Mungkin se-tidakterbatasnya keluasan penggagas seni, yaitu Tuhan.   Perkembangan simbol pada kehidupan manusia memaksa manusia untuk membuat sebuah standarisas-standarisai demi memudahkan manusia untuk melakukan sesuatu. Huruf A, mempunyai standar bentuk yang kita semua telah tahu terlepas dari kapital-tidaknya, besar-kecil bentuknya, atau jenis fontnya. Begitu juga dengan bunyi huruf A, setiap bangsa memiliki standarisasinya masing-masing.   Perkembangan pola hidup, bertambahnya jumlah manusia, juga bertambahnya kompleksitas masalah membuat manusia kebingungan menempatkan koordinat standarisasi. Wilayah

Bisa "Kualat" Nanti

Dimana-mana, di media apa saja kita sering mendengar pembicaraan, obrolan, tulisan tentang bagaimana mengelola negeri ini dengan baik. Bersamaan dengan itu datang orang-orang dari barat, utara datang memberikan tawaran-tawaran, referensi. Seperti ini lho cara yang baik. Mereka mengatakan itu kepada bangsa ini.   Tawaran, referensi tersebut diterima saja. Tanpa difilter lagi, mana saja yang bisa dipakai, mana yang tidak, mana yang sesuai, mana yang tidak. Semua diambil. Bahkan tawaran mereka dianggap yang terbaik.   Setelah beberapa waktu akhirnya diketahui ternyata keputusan untuk menerima semua tawaran dan referensi tersebut alasannya adalah karena mereka tertarik dengan kemegahan, kegemerlapan yang dimiliki oleh orang-orang dari luar tersebut. Para pengambil keputusan itu menggebu-gebu karena dianggap kemegahan dan kegemerlapan itu bisa mengangkat derajat mereka, memberikan kebahagian bagi mereka.   Akibatnya mereka mengusahakan supaya bangsa ini menganggap bahwa merekalah yang

Pembantu dan "Gendakkan"

Saat ini wajah kita bukanlah benar-benar wajah kita. Kita diarahkan untuk tidak menyukai wajah kita. Dalam bidang apa saja. Kapanpun. Dimanapun. Kita merengek-rengek, memohon-mohon untuk tidak menjadi diri kita. Tersenyum manis setelah wajah kita, kita bungkus dengan warna-warna. Bangga setelah melihat cermin. Itulah wajahku, itulah diriku. Padahal bukan. * Setiap pagi anak-anak kecil berdatangan ke bangunan-bangunan, masuk ke dalam kelas-kelas. Berharap menjadi pandai. Para pengelolanya duduk manis dan terus sibuk membicarakan pembelian barang-barang, benda-benda. “Mudah untuk membuat mereka diam”, kata salah seorang dari mereka. Kita sumpali saja mulut mereka dengan nilai-nilai bagus. Mitos nilai-nilai kuantitatif dipahamkan kepada mereka. Kesadaran bahwa manusia itu luas cakrawalanya dihilangkan begitu saja. Diganti ruangan-ruangan sempit, kotak-kotak dengan tembok yang kokoh. “Kalianlah generasi penerus bangsa”, kata salah seorang yang lain. Anak-anak itu hanya men

Ya Tuhan, Ampunillah Kami-kami Ini

Berbagai informasi tentang peristiwa kejahatan, keburukan setiap hari memenuhi kepala kita. Jengkel, geram, marah, mungkin itu yang kita rasakan ketika mendengar informasi-informasi tersebut. Dimanapun saja, kita tidak bisa menghindari informasi tersebut. Bahkan ketika kita menjauh pun, informasi tersebut masih saja kita dengar. Entah itu melalui perbincangan tetangga yang tidak sengaja kita dengar atau melalui televise yang dinyalakan oleh saudara kita dan kita tidak sengaja mendengarnya.   Berbagai kejahatan, keburukan dilakukan dengan berbagai motif yang berbeda-beda. Mulai dari motif sepele, seperti rasa iri sampai persoalan perpolitikan nasional.   Ada informasi-informasi yang membuat saya pribadi melongo, seperti tidak percaya. Informasi tersebut berkaitan dengan orang-orang yang kita percayai untuk menjadi wakil kita untuk nguri-uri negara yang kita sayangi ini.   Saya tidak habis pikir, ada seorang ketua pengadilan agama tertangkap di hotel berduaan di kamar dengan lelak

Zaman Para Pembebek

Sudah semenjak sangat lama manusia tertarik dengan perayaan-perayaan. Banyak produk budaya berupa perayaan-perayaan. Tak terkecuali produk budaya yang bersifat religius. Dulu manusia melakukan perayaan sebagai pengingat. Pengingat akan makna-makna tertentu sesuai dengan momentum yang dirayakan. Terciptalah kreasi simbol-simbol yang ada dalam perayaan-perayaan. Kesukaan manusia akan perayaan terus berlanjut sampai zaman yang disebut modern ini. Namun ada sedikit perbedaan. Salah satu hal yang disukai oleh manusia modern adalah mengelupas apa saja kemudian diambil kulitnya. Bukan untuk dimakan tetapi sekedar pemuas pancaindera.   Kebudaayaan hanya dipahami sebatas seni. Itupun dipilah-pilah, dipilih yang bisa menghasilkan uang. Perayaan apapun hanya diambil hingar bingar, gegap gempita, gemerlapnya saja. Makna sudah tidak begitu penting. Bahkan, perayaan yang sifatnya religius pun dihilangkan maknanya. Misalnya, tahlilan. Tahlilan itu sekarang hanya dipahami sebatas distribusi makan