Langsung ke konten utama

Menikmati Kehancuran

Sebegitu yakinnya manusia dengan benda-benda, sehingga ia berjuang mati-matian untuk mencapai pencapaian yang bersifat benda, dapat dirasakan oleh pancaindera atau kalau tidak, secara kuantitatif jelas perhitungannya. Padahal manusia mengerti tentang apa yang dia lihat pun tidak terletak pada bendanya, tetapi di pikirannya. Benda hanya sekedar pintu masuk untuk mengerti. 

Pengklasifikasian supaya mempermudah manusia untuk membedakan fungsi juga bagian dari yang tidak kasat mata. Itu ghaib. Apalagi proses yang titik beratnya pada fungsi pun tidak menjamin hasilnya sesuai dengan apa yang diinginkan. Segala yang terlihat kasat mata substansinya terletak pada wilayah ghaib yang sebenarnya tidak bisa dirumuskan oleh manusia.  

Entah apa yang membuat manusia mengalami kemunduran-kemunduran. Selain berkaitan dengan keghaiban tersebut, sudah sangat lama manusia mengerti bahwa kehidupan yang ia jalani saat ini bukanlah tujuan. Kehidupan saat ini hanyalah proses menuju kehidupan lain yang manusia sendiri tidak tahu akan seperti apa. Yang jelas tata cara, sunnatullahnya berbeda dengan kehidupan sekarang. 

Pengertian yang sudah dipahami oleh manusia sangat lama tersebut semakin ke sini semakin kabur. Berangsur-angsur pemahaman manusia tentang hal tersebut semakin dipahami hanya sebagai khayalan. Padahal, Tuhan sudah mengutus pemberi pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Juga perkataan-Nya pun terdokumentasi secara rapi sehingga setiap saat manusia secara mudah bisa membacanya, memahaminya.

Tuhan khayalan, malaikat khayalan, kitab khayalan, rasul khayalan, hari kiamat khayalan, qada’ dan qadar khayalan. Manusia hanya berbasa-basi saja ketika mempelajari rukun iman di sekolah-sekolah. Supaya dianggap rajin oleh guru. Supaya mendapat nilai bagus, orang tua senang, bangga karena anaknya pandai di sekolah. 

Ketika ia beranjak dewasa pengertian rukun iman mereka ganti dengan rukun khayalan. Ia mulai berdekatan dengan benda-benda. Ia mulai membuat sebuah pengertian bahwa hidup itu supaya perut tidak lapar, nafsu seks terpenuhi, gengsi sosial tercukupi. Tidak peduli bagaimana caranya yang penting ketiga hal tersebut terpenuhi.

Tidak heran jika ada berbagai hal tidak logis secara logika, rancu secara akhlak. Dalam satu kesempatan manusia mencuri, di kesempatan lain ia memohon ampun kepada Tuhan dengan menjalankan ibadah-ibadah bakunya. Di satu kesempatan ia menjadi ayam jantan yang mengejar ayam betina di halaman rumah dan menerkamnya dimanapun ia berada. Di kesempatan lain ia mohon ampun kepada Tuhan dengan menjalankan ibadah-ibadah bakunya. Hal tersebut berputar terus. Ia menganggap ibadah ya ibadah, mencuri ya mencuri. Tidak perlu menunggu adanya bencana besar untuk tahu bahwa kehidupan telah mencapai titik yang disebut sebagai kehancuran. Karena keadaan tersebut sudah menunjukkan bahwa manusia sedang mengalami dan menikmati kehancurannya.

Komentar