Langsung ke konten utama

Menikmati Kepura-puraan

Untuk menjaga keseimbangan sosial manusia dianjurkan untuk saling berprasangka baik satu sama lain. Apabila dilihat dari berbagai peristiwa kehidupan yang ada hal tersebut adalah cara yang efektif mengingat bahwa konflik datangnya dari rasa benci. Rasa benci salah satu penyebabnya adalah prasangka buruk.


Namun, di sisi lain kritis terhadap hal-hal yang buruk juga berfungsi sebagai pembelajaran. Bukan untuk berprasangka dan menanam kebencian. Tetapi sebagai proses dialektis saja, supaya pandangan hidup semakin luas. Sehingga tidak membuat manusia terjebak kepada keadaan hitam – putih saja.

Hal tersebutlah salah satu hal yang melandasi adanya tulisan ini. Saya akan membicarakan tentang suatu keadaan di masyarakat. Tetapi, untuk mempertegas saja, sama sekali bukan bertujuan untuk menanam kebencian terhadap apapun. Sekedar dialektika untuk menemukan ilmu, hikmah yang disebar langsung oleh-Nya dalam berbagai wilayah kehidupan.

Desa, di satu sisi adalah gambaran tentang kokohnya suatu masyarakat. Tanpa adanya desa-desa Indonesia tidak akan sekuat sekarang. Apakah itu dalam hal ekonomi, budaya, agama, ilmu, persatuan dan kesatuan.


Tetapi, di sisi lain, terutama di wilayah jawa menyimpan sebuah kengerian luar biasa yang benar-benar membuat bergidik siapapun saja yang tidak kuat berada di dalamnya. Ini tidak lebay. Memang seperti itulah adanya.

Kesadaran rohaniah manusia jawa sangatlah tinggi. Secara positif sangat bagus bagi kehidupan masyarakatnya. Secara negatif pun juga sangat buruk. Untuk menyakiti orang lain orang jawa tidak perlu dengan kekerasan. Memukuli orang misalnya, atau yang agak halus mengejek-ngejek orang. Cara yang dipakai lebih menyakitkan, cukup tidak didatangi saja ketika orang yang ingin disakiti akan membuat acara. Jika dipikir-pikir memang sepele. Tetapi jika sudah menjalani akan terasa, betapa sakitnya hal tersebut. Atau yang lebih parah, cukup kita cueki, tidak pernah kita sapa, sudah sangat menyakitkan.


Budaya saling menyakiti tersebut sudah terlanjur merebak dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat kita cenderung masyarakat yang mudah sakit hati apabila berurusan dengan masalah yang skalanya kecil, jangkauannya pendek. Maka muncullah tradisi pencitraan dalam masyarakat. Orang-orang dusun terjebak kepada keadaan bagaimana supaya dipandang baik dalam masyarakat. Keadaan yang benar-benar tidak sehat.

Hidup dalam masyarakat itu harus pandai bersandiwara. Harus pandai tidak jujur dengan diri sendiri. Entah bagaimana caranya supaya di masyarakat dipandang baik saja.
Hal tersebut membuat etos gotong royong menjadi berkurang. Ketika ada kegiatan sosial masyarakat cenderung berpegang teguh kepada prinsip yang penting terlihat bahwa kita berpartisipasi. Atau lebih tepatnya pencitraan. Akhirnya, kalau ada kegiatan yang bersifat gotong royong yang utama bukanlah bagaimana cara kita berpartisipasi secara maksimal. Tetapi yang penting terlihat sama orang lain. Supaya dianggap orang yang jiwa sosialnya tinggi. 

Seakan-akan ia berjiwa sosial tetapi sebenarnya egois. Keadaan tersebut hanyalah keadaan awalnya saja. Berbagai variasi pencitraan tidak lain tidak bukan hanyalah untuk mengunggulkan ego-ego pribadi.


Keadaan tidak sehat tersebut terus dipelihara. Kalau ada yang mengingatkan akan marah. Lebih baik, selama hidup terus berada dalam kepura-puraan. Dari pada ia dipandang tidak baik di mata masyarakat.

Agak aneh juga kalau mau menuntut masyarakat bawah untuk melakukan pencitraan. Yang di atas saja memberikan contoh pencitraan apalagi yang di bawah.

Komentar