Kalau segelintir orang menyengaja berbuat sesuatu
tanpa mempertimbangkan apakah dampak negatifnya berpengaruh bagi banyak orang
atau tidak berarti hatinya telah membatu dengan sangat keras. Yang ia pedulikan
adalah dirinya sendiri.
Kemudian, apabila perbuatannya telah terbukti merugikan banyak orang yang skalanya luar biasa besar tetapi ia tidak merasa bersalah berarti batu hatinya semakin keras. Yang penting “aku” untung, tidak peduli orang lain mau mati, mau menderita, mau sengsara.
Saya tidak tahu, apakah ini yang sedang terjadi di dunia ini. Baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kalau iya, inilah puncak dari kesombongan manusia sekaligus puncak kepengecutan manusia.
Puncak
kepengecutan karena ia berani sombong karena bersembunyi di titik yang sangat
dalam. Ia membuat lapisan-lapisan yang memungkinkan manusia lain tidak akan
mencapai lapisan terdalam. Si sombong tidak berani berhadap-hadapan dengan yang
disombongi. Bahkan ia menyangka sedang tidak berhadap-hadapan dengan Tuhan.
Manusia
yang tertindas, menerima akibat dari kerasnya batu hati manusia lain dan memang
tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menunggu. Kesudahan apa yang akan
diberikan oleh Tuhan. Apakah kesudahannya seperti kaum pembangkang zaman Nabi
Nuh, Hud, Shaleh, Luth, Syu’aib ataukah seperti Fir’aun dan kroni-kroninya atau
mungkin ada kesudahan lain yang belum pernah terjadi dalam kehidupan
ciptaan-Nya ini. Atau mungkin, tidak ada kesudahannya. Karena seperti yang
diobrolkan Iblis dengan Tuhan, “mereka akan terkena godaanku”, kata iblis,
“kecuali orang-orang yang beriman”.
Kemudian, apabila perbuatannya telah terbukti merugikan banyak orang yang skalanya luar biasa besar tetapi ia tidak merasa bersalah berarti batu hatinya semakin keras. Yang penting “aku” untung, tidak peduli orang lain mau mati, mau menderita, mau sengsara.
Saya tidak tahu, apakah ini yang sedang terjadi di dunia ini. Baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kalau iya, inilah puncak dari kesombongan manusia sekaligus puncak kepengecutan manusia.
Puncak
kesombongan karena manusia semakin tidak sadar bahwa sombong itu tidak benar,
tidak baik, tidak indah. Sehingga ia terus memperbaharui tata cara untuk
mengimplementasikan kesombongannya supaya semakin canggih, semakin canggih dan
semakin canggih. Semakin halus, semakin halus dan semakin halus.
Kalau
zaman fir’aun kan jelas. Terlihat secara kasat mata dialah subyek yang sombong
itu. Ia gentelman berani berhadap-hadapan dengan yang disombongi. Mungkin ia
juga menyangka tidak berhadapan dengan Tuhan.
Komentar
Posting Komentar